Broh, sedih ya semenjak negeri kita dipinpin sama pakde gw sepertinya beliau cukup sibuk bermain game COC bro.hehehehe
banyak PR yang harus dikerjakan dan limpahan PR dari pemerintahan sebelumnya bro.
Nah ada beberapa program yang menurut ane sih sangat bagus tindakan pakde JKW ini lohh.. seperti
banyak PR yang harus dikerjakan dan limpahan PR dari pemerintahan sebelumnya bro.
Nah ada beberapa program yang menurut ane sih sangat bagus tindakan pakde JKW ini lohh.. seperti
- Eksekusi mati para pengedar
- Pembangunan listrik 35000 kw
- Penghilangan subsidi BBM
- Peningkatan pelayanan masyarakat 1pintu
Nah namanya juga ada air ada api juga toh, nih beberapa kebijakan doi yang kurang tepat menurut ane boos
- Rencana pembangunan pelabuhan cilamaya di karawang
- Peralihan tugas PLN ke swasta seperti pembangunan PLTU/A/S/LL
- Pelemahan KPK
- Penguaran Polri
- Penurut sama mega
Menurut ekonom Universitas Indonesia Anton H. Gunawan, BI memang tidak terlalu mengkhawatirkan pelemahan rupiah. Apalagi di tengah tren “perang mata uang” global yang membuat banyak negara berupaya menurunkan nilai tukarnya guna meningkatkan daya saing di pasar dunia.
Bank sentral, kata dia, justru lebih memperhatikan defisit neraca transaksi berjalan yang sudah berlangsung sejak kuartal IV-2011. Defisit terutama akibat kinerja ekspor yang terus menurun. Bahkan sejak 2012, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit. Penyebabnya, ekspor Indonesia selama ini mengandalkan produk komoditas yang di pasar internasional harganya cenderung turun.
(Baca: Kinerja Ekspor Rendah Dorong Pelemahan Rupiah)
Kinerja perdagangan yang terus turun tersebut tidak mampu mengimbangi defisit neraca jasa dan neraca pendapatan yang melebar. Dalam laporan Neraca Pembayaran Indonesia yang dirilis BI, neraca jasa dan neraca pendapatan memang senantiasa mengalami defisit.
Defisit neraca jasa akibat meningkatnya pembayaran jasa transportasi barang impor dan jumlah warga negara Indonesia yang bepergian ke luar negeri. Sedangkan defisit neraca pendapatan lantaran peningkatan dividen dan bunga utang yang diperoleh investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Pada 2014, defisit neraca transaksi berjalan tercatat sebesar 2,95 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) sedikit turun dibandingkan defisit pada 2013 sebesar 3,18 persen. Tahun ini, sejumlah ekonom memperkirakan defisit akan berada di kisaran 3 persen, sedangkan BI memprediksikan berada di angka 3,2 persen.
“BI sangat takut dengan defisit neraca transaksi berjalan (melonjak),” kata Anton di Financial Club, Graha Niaga, Jakarta, Kamis (12/3). (Baca: Rupiah Lemah, Tidak Pacu Ekspor)
Kekhawatiran BI pun sudah terlihat dalam kebijakan moneternya sejak 2013, yakni dengan beberapa kali menaikkan suku bunga acuan (BI Rate). Kebijakan ini diambil karena kinerja ekspor yang terus turun, sehingga BI mesti membuat kebijakan yang dapat memastikan aliran modal dapat masuk ke pasar keuangan dalam negeri (capital inflow) yang dapat dipakai untuk membiayai defisit tersebut.
Namun BI tidak dapat terus menggunakan instrumen suku bunga lantaran besarannya yang sudah cukup tinggi. Selain itu, tren sejumlah negara yang menurunkan suku bunganya dan melemahkan mata uangnya terhadap dolar AS ikut menekan rupiah.
“BI tidak punya instrumen lain untuk mengatasi defisit neraca transaksi berjalan, selain membiarkan rupiah melemah,” kata Anton. “Tampaknya BI lebih comfort (nyaman) dengan rupiah di atas Rp 13.000.”
Apalagi, tingkat BI Rate yang tinggi bertentangan dengan keinginan pemerintah yang meminta penurunan suku bunga supaya memacu pertumbuhan ekonomi yang tahun ini ditargetkan sebesar 5,7 persen. (Baca: BI: Rupiah Rp 13.000 Masih Sesuai Fundamental Ekonomi)
“Jadi BI memang lebih mencoba mengikuti, tapi jangan sampai rupiah melemah terlalu kaget. (Kebijakan) itu kelihatannya yang akan dilakukan BI ke depan,” kata Komisaris Independen Bank Mandiri itu.
Hal ini pun terlihat dari cadangan devisa per Februari 2015 yang masih menunjukkan peningkatan dari US$ 114,25 miliar pada Januari menjadi US$ 115,53 miliar.
Sasaran BI menjaga nilai rupiah yang lemah, kata Anton, utamanya adalah untuk menekan impor, terutama impor konsumsi. Bukan ingin menaikkan ekspor yang mayoritas berupa produk komoditas. Ini sudah terlihat dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa impor barang konsumsi yang turun 20,25 persen pada Januari.
Tapi yang jadi persoalan adalah bagaimana pemerintah dapat menahan impor bahan baku dan barang modal yang diperkirakan meningkat pada semester II nanti. Ini seiring dengan mulai berjalannya proyek-proyek infrastruktur milik pemerintah.
(Baca: Pemerintah Siapkan Langkah Jaga Stabilitas Rupiah)
Dalam hal ini, pemerintah pun sudah menyiapkan sejumlah langkah yang dapat membantu BI menjaga supaya defisit neraca transaksi berjalan tidak bertambah. Ada delapan strategi yang disiapkan pemerintah:
Mengenakan bea anti dumping dan bea masuk pengamanan sementara sebagai respons jika terdapat lonjakan impor barang tertentu serta penyederhanaan prosedur dan mekanisme pengembalian.
Insentif pajak (tax allowance) bagi perusahaan yang minimal 30 persen produknya untuk ekspor.
Insentif PPN bagi perusahaan galangan kapal.
Meningkatkan komponen biofuel agar impor BBM berkurang.
Insentif pajak bagi perusahaan asing yang tidak mengirimkan 100 persen dividennya ke negara asal.
Merancang formulasi pembayaran pajak pemilik atau perusahaan pelayaran asing.
Mendorong BUMN membentuk reasuransi.
Mendorong dan memaksa proses transaksi di dalam negeri menggunakan rupiah.
Kepala Ekonom Bahana TCW Investment Budi Hikmat mengatakan, yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah memperkuat daya tahan dan daya saing perekonomian dalam negeri. Caranya, dengan membenahi infrastruktur, transportasi, kualitas sumber daya manusia, serta mencari alternatif energi.
Berikut ini adalah penjelasan Facebook Pak Jusman Syafii Djamal, kini komisaris utama PT Garuda Indonesia. Saya sudah meminta ijin untuk menyebarkan via blog ini. *** Tahun 1998 saya bekerja di IPTN. Tahun itu tahun yang amat sulit bagi perusahaan yang bergelut di proses pembuatan pesawat terbang. Kami menyebutnya sebagai tahun krisis. Ternyata kami tidak sendirian. Semua industri juga mengalami kesulitan. Orang menyebutnya sebagai tahun krisis ekonomi Asia. Sebabnya sepele semua ahli ekonomi menyebut Indonesia tahun 96,97 dan 98 adalah puncak pertumbuhan ekonomi. Tahun 95 kita sebagai bangsa baru saja melewati ulang tahun ke 50. Tahun emas kemerdekaan. Optimisme berkembang dimana-mana. Itu tahun 1995, tapi apa yang terjadi tiga tahun kemudian ?? Semua tak menyangka badai krisis akan menghantam semua optimisme. Tiga tahun kemudian di 98, Indonesia dilanda krisis. Awalnya sederhana nilai mata uang Bath di Thailand melemah terhadap dolar AS. Mata uang Bath turun secara drastis.
Semua ekonomi Indonesia bilang ah mengapa pusing yang lemah kan mata uang Bath, di Thailand. Ekonomi Indonesia tak mungkin terganggu. Potensi sumber daya alam banyak. Fondasi ekonomi kuat. Mengapa khawatir pada pelemahan nilai mata uang Bath. Apa yang terjadi di Thailand tidak mungkin merambat ke Indonesia. Kita punya benteng perekonomian kuat dan kokoh seperti Tembok China. Our line of defence sangat kuat. Dont worry be happy. Begitu kata semua orang pada Pak Harto yang saat itu sedang menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Ketika ekonomi Indonesia collaps dan hancur berkeping di tahun 1998, semua ahli ekonomi maju ke depan. Yang tadinya bilang fondasi ekonomi kuat pada dua tiga tahun sebelumnya kemudian tampil dengan pelbagai teori. Intinya semua berkata :”apa abang bilang, memang kita rapuh. Padahal sudah abang peringati, tak ada yang peduli”.
Tahun 1998 adalah “nightmare” mimpi buruk bagi perekonomian Indonesia. Turunnya mata uang Bath, memiliki efek domino pada mata uang rupiah. Ternyata dibalik kekokohan fondasi ekonomi yang disebut oleh para ahli dan secara kasat mata terlhat kokoh dan kuat tersembunyi kelemahan. Ada lima pelajaran yang saya tulis dalam catatan harian saya berkenan dengan krisis ekonomi tahun 98. Saya membuat catatan karena kebetulan, pada tahun 1996 Prof Dr. Ing BJ Habibie, boss saya memberikan tugas menarik pada saya. Suatu hari di jumat pagi ketika saya sedang sarapan pagi bersama isteri saya, mesin fax saya berbunyi tat tut tit. Tanda ada fax masuk tapi kertas habis. Kemudian saya mengganti kertas sebab sudah kebiasaan biasanya kalau mesin fax hidup di hari jumat pagi, pastilah ada hal penting dari Pak Habibie, yang harus dikerjakan. Sebab beliau tidak ingin saya hanyut dalam liburan sabtu dan minggu. Kalau fax-nya panjang, Pasti ada perintah Boss berkenaan dengan analisa data. Fax tanpa telpon, artinya Assignment tak biasa . Maklum di tahun 1996 saya baru ditunjuk menjadi Direktur Sistem Senjata dan Sistem Antariksa PT IPTN oleh Pak Habibie. Benar saja, tak lama kemudian setelah kertas baru diinstall, mesin faks bekerja tanpa henti. Lembar demi lembar mengalir keluar. Isinya pelbagai angka dan catatan tangan yang khas. Catatan Prof Habibie di lembar kertas faks itu. Saya tau itu adalah “assigment” , tugas lain saya bukan sebagai Direktur Sistem Senjata, melainkan tugas sebagai seorang asisten. Sebagai “computational aerodynamics yang berfungsi membuat pelbagai simulasi model matematika” jika diperlukan. Lama saya mempelajari apa yang diminta, Yang tertera diatas kertas hanya simbol lambd, alpha dan gama serta psi.
Istilah variabel matematik yang amat digemari Prof Habibie kalau beri assignment pada saya. Singkat cerita setelah itu selama lebih tiga bulan tanpa henti siang dan malam saya ternyata diminta oleh beliau membuat simulasi model matematika tentang kaitan suku bunga bank, inflasi, perubahan nilai tukar dalam perubahan tingkah laku kurva supply and demand dari dua jenis mekanisme pasar. Pasar terbuka dan pasar terkelola. Beliau memberi “pekerjaan rumah” untuk membuat simulasi model matematika dari kaitan antara fiskal and moneter dari lima negara Amerika, Jerman, Perancis, Jepang dan Indonesia. Saya bukan ahli ekonomi. Pelajaran ekonomi saya ketika di ITB hanya diberikan oleh Prof Suharsono Sagir , Pengantar Ilmu Ekonomi. Saya dididik selama 10,000 jam tanpa henti oleh assignment Pak Habibie menjadi ahli perancangan pesawat terbang dan “computational/mathetemtical modelling aerodynmaics”. Karenanya dengan assigment tidak biasa ini, setiap hari saya harus membaca buku untuk memahami apa yang disebut dengan M1,M2 apa yang disebut dengan velocities of moneys, flux of money. Sebab intrument equation saya adalah pesawat terbang. Fenomena pasar terkelola yang cenderung selalu stabil didekati dengan equation stability pesawat terbang komersial angkut penumpang, Boeing atau Airbus, Sementara fenomena pasar bebas di mana krisis, business cycle , fluktuasi, chaos bisa terjadi di tempat yang tak terduga didekati melalui simulasi gerak “instability and maneuverability” pesawat tempur F16 dalam “multi equilibirium” keseimbangan yang bersifat sementara dan cenderung ringkih jika tidak ada maneuver(yang fly by wire, perubahan cepat dikelola dalam setiap perubahan tingkat stablititas)
Awalnya karena saya tidak hini assigment apa, saya telah membuat semua data itu masuk ke dalam formula “systems dynamics” yang menggambarkan gerak tingkah laku pesawat terbang dalam pelbagai perubahan cuaca dan ketinggian terbang serta perubahan konfigurasi. Kita menyebutnya pendekatan “matriks koefisien pengaruh” dalam enam derajat kebebasan yang memperlakukan semua variabel, data dan angka tidak sebagai “just number” atau skala, melainkan sebagai suatu variabel yang dipengaruhi dan mempengaruhi variabel lainnya dalam perubahan ruang dan waktu. Tiap variabel menjadi vektor. Punya besar dan punya arah. Hasil kajian saya yang kemudian melahirkan dialog intens dengan Prof Habibie, melahirkan dokumen tebalnya 400 halaman. Semua berisi model matematika suku bunga, inflasi, dan nilai tukar dalam perubahan tingkah laku pasar. Prof Habibie kemudian menyebutnya sebagai Teori Zigzag dalam mengendalikan nilai tukar yang kemudian digunakan oleh beliau ketika menjadi Presiden ketiga ditengah krisis ekonomi tahun 98. Kalau kini saya teringat itu, kadangkala saya sering merasa sangat bersyukur mendapat kepercayaan Prof Habibie menjadi pengolah data dan pengembang model matematika selama hampir lebih sepuluh tahun sejak 1983 hingga 1996.
Istilah variabel matematik yang amat digemari Prof Habibie kalau beri assignment pada saya. Singkat cerita setelah itu selama lebih tiga bulan tanpa henti siang dan malam saya ternyata diminta oleh beliau membuat simulasi model matematika tentang kaitan suku bunga bank, inflasi, perubahan nilai tukar dalam perubahan tingkah laku kurva supply and demand dari dua jenis mekanisme pasar. Pasar terbuka dan pasar terkelola. Beliau memberi “pekerjaan rumah” untuk membuat simulasi model matematika dari kaitan antara fiskal and moneter dari lima negara Amerika, Jerman, Perancis, Jepang dan Indonesia. Saya bukan ahli ekonomi. Pelajaran ekonomi saya ketika di ITB hanya diberikan oleh Prof Suharsono Sagir , Pengantar Ilmu Ekonomi. Saya dididik selama 10,000 jam tanpa henti oleh assignment Pak Habibie menjadi ahli perancangan pesawat terbang dan “computational/mathetemtical modelling aerodynmaics”. Karenanya dengan assigment tidak biasa ini, setiap hari saya harus membaca buku untuk memahami apa yang disebut dengan M1,M2 apa yang disebut dengan velocities of moneys, flux of money. Sebab intrument equation saya adalah pesawat terbang. Fenomena pasar terkelola yang cenderung selalu stabil didekati dengan equation stability pesawat terbang komersial angkut penumpang, Boeing atau Airbus, Sementara fenomena pasar bebas di mana krisis, business cycle , fluktuasi, chaos bisa terjadi di tempat yang tak terduga didekati melalui simulasi gerak “instability and maneuverability” pesawat tempur F16 dalam “multi equilibirium” keseimbangan yang bersifat sementara dan cenderung ringkih jika tidak ada maneuver(yang fly by wire, perubahan cepat dikelola dalam setiap perubahan tingkat stablititas)
Awalnya karena saya tidak hini assigment apa, saya telah membuat semua data itu masuk ke dalam formula “systems dynamics” yang menggambarkan gerak tingkah laku pesawat terbang dalam pelbagai perubahan cuaca dan ketinggian terbang serta perubahan konfigurasi. Kita menyebutnya pendekatan “matriks koefisien pengaruh” dalam enam derajat kebebasan yang memperlakukan semua variabel, data dan angka tidak sebagai “just number” atau skala, melainkan sebagai suatu variabel yang dipengaruhi dan mempengaruhi variabel lainnya dalam perubahan ruang dan waktu. Tiap variabel menjadi vektor. Punya besar dan punya arah. Hasil kajian saya yang kemudian melahirkan dialog intens dengan Prof Habibie, melahirkan dokumen tebalnya 400 halaman. Semua berisi model matematika suku bunga, inflasi, dan nilai tukar dalam perubahan tingkah laku pasar. Prof Habibie kemudian menyebutnya sebagai Teori Zigzag dalam mengendalikan nilai tukar yang kemudian digunakan oleh beliau ketika menjadi Presiden ketiga ditengah krisis ekonomi tahun 98. Kalau kini saya teringat itu, kadangkala saya sering merasa sangat bersyukur mendapat kepercayaan Prof Habibie menjadi pengolah data dan pengembang model matematika selama hampir lebih sepuluh tahun sejak 1983 hingga 1996.
Pengalaman itu yang menyebabkan kini saya sedikit merasa hawatir melihat pergerakan rupiah yang terus melemah. Apalagi saya semakin lebih khawatir ketika semua Pemimpin penentu arah kebijakan ekonomi baik pengelola fiskal maupun pengelola moneter yang terlihat masih terus tertawa dan menyatakan “tidak apa apa, tidak apa”, Kita aman. Malah ada yang mengatakan kalau nilai rupiah terus merosot malah kita untung. Cadangan devisa meningkat, dan ekspor akan terus melaju “current account defisit” akan menyempit karena devisa masuk. Tahun 98 tidak sama dengan tahun 2015. Jangan hawatir. Kita telah banyak belajar dari tahun 98 dan dunia telah jauh berubah dibanding tahun 98. Krisis ekonomi adalah masa lalu dan dimasa kini Insya Allah krisis ekonomi tidak bakal dan tidak akan terjadi. Sebuah optimisme yang bikin kita lega. Akan tetapi apakah benar demikian ? Tahun 2015 adalah tahun pertama dari Pemerintahan Jokowi JK. Pada tahun ini terjadi suatu gejala ekonomi yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Harga minyak dunia turun drastis. Tiba-tiba persoalan beban subsidi dalam APBN hilang lenyap begitu saja. Berganti optimisme ada anggaran tersedia untuk membangun infrastruktur. Sebab subdidi BBM kini sudah dialihkan. Ini berkah. Akan tetapi muncul tekanan pertama secara perlahan tapi pasti nilai tukar rupiah terhadap dollar turun. Hari kemarin menyentuh angka terendah sejak krisis ekonomi 98 yakni menyentuh pada angka Rp 13.000 rupiah. Angka yang melebihi asumsi APBN 12500. Perbedaan 500 rupiah per dolar yang tidak menghawatirkan kata pengelola Fiskal dan Moneter. Asumsi APBN berubah, kita masih tenang tenang. Alarm atau Early Warning Systems kita menyatakan aman. Bahkan ada yang berteori bahwa menurun hingga 15000 seperti tahun 1998 pun mungkin kita tidak apa apa. Ada Negara yang punya fenomena begitu Turki begitu argumennya. Menarik untuk disimak. Bagi pelaku industri perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar merupakan sesuatu yang sangat ditakutkan. Kenapa?
- Ia melahirkan ketidak pastian Top Line and Bottom Line akhir tahun. Revenue dan Profit menjadi sukar diprediksi. Sebab harga jual produk dipasar juga mengikutinya. Apalagi jika penurunan nilai tukar itu berfluktuasi sepanjang waktu. Harga produk di pasar akan mengalami “ajustment” sebab produk sejenis di pasar akan mengalami pasang surut. Terutama bagi industri otomotif dan elektronik.
- Industri yang sedang melakukan proses modernisasi barang modal juga akan ketar-ketir. Barang modal berupa mesin dan alat peralatan utama pada umumnya adalah barang impor. Untuk membeli barang modal biasanya industriawan melakukan proses penyicilan. Hutang dibuat tahun 2012 dan 2013 ketika ekonomi membaik dan optimisme hadir. Pada saat hutang dibuat nilai dolar terhadap rupiah masih dalam kisaran Rp 9000, kini ketika hutang jatuh tempo terjadi nilai rupiah merosot ke angka Rp 13.000. Ada perbedaan Rp 4.000 rupiah. Hampir 50 % dalam tiga tahun. Itu berarti jika ada utang 1 juta dolar tahun 2013, utang itu bernilai Rp 9 Miliar . Kini utang itu menjadi Rp 13 Miliar. Tanpa ada problem kinerja perusahaan, utang meningkat hampir 50 %. Bayangkan jika ada perusahaan baik swasta maupun BUMN yang uutang ketika dolar bernilai Rp 9. 000 sebesar US 100 Juta dolar, yang berarti Rp 900 Miliar??? Pastilah kini ia harus merogoh kocek lebih dalam dengan nilai tukar dolar AS berharga Rp 13. 000, artinya ada tambahan utang Rp 400 Miliar. Mesin yang dibelinya jadi lebih mahal 50 %. Apalagi jika pajak dihitung dalam dolar AS. Ampun dah kata dirutnya. Ditengah perubahan nilai tukar terhadap dolar berarti industri harus melakukan proses penyesuaian. Kurva penurunan nilai rupiah terhadap dolar harus dicermati setiap detik dan setiap hari. Sebab dampak terhadap peningkatan biaya operasi akan merangkah sepanjang waktu tanpa terasa. Diperlukan langkah sistematis dan berkesinambungan untuk proses efisiensi dan penurunan biaya operasi. Penurunan biaya ini kadangkala menyebabkan kekuatan penetrasi produk menyempit dan pada gilirannya profit mengkerut dan makin lama makin mengecil. Perusahaan yang tadinya tumbuh kini sedikit oleng. Seperti pesawat menghadapi cuaca buruk, ada goncangan yang tidak nyaman.
- Tagihan vendor luar negeri meningkat. Industri masa kini adalah industri global. Tidak mungkin ada industri manufaktur produk semua bahan mentah atau produk setengah jadi berasal dari Indonesia. Tidak mungkin industri Otomotif atau Industri Elektronik atau Industri Pesawat Terbang ataupun Tekstil bahan bakunya tidak ada yang diimpor. Kecil atau besar pastilah ada yang diimpor. Dari 3000 komponen mobil untuk melahirkan sebuah mobil paling tidak ada 1500 komponen yang diimpor. Impor berarti mengganti rupiah terhadap dolar. Nilai barang menjadi lebih mahal.Biaya produksi meningkat, daya kompetisi mengecil. Dengan kata lain setiap kenaikan harga dolar AS seribu rupiah yang disebut oleh Gubernur Bank Indonesia tidak mempunyai pengaruh, besar dampaknya bagi kekuatan industri dalam negeri yang strukturnya masih tergantung pada komponen impor. Dunia yang global ini menyebabkan Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh nilai tukar terhadap kekuatan industri dalam negeri.
Rumus :”Hope for the best prepare for the worst” menurut hemat saya perlu tetap dipegang. Lihat data dan fakta sebagaimana adanya. Analisa setiap perubahan angka rupiah terhadap dolar betatapun kecilnya. Sebab angka itu bukan sekedar angka statistik. Melainkan hasil interaksi pelbagai kekuatan pasar yang sedang bekerja. Kita berada dalam sistem yang memiliki kompleksitas. Krisis ekonomi bisa menyergap tanpa diundang, ketika semua orang tertawa lebar. Itu pelajaran economy crises tahun 1998, yang Insya Allah tidak akan terjadi. Mohon maaf jika keliru. Salam -
Sumber : http://unilubis.com/2015/03/12/jusman-sd-rupiah-melemah-mengapa-kita-tertawa/#sthash.dusqzfJ4.dpuf
katadata.co.id
Komentar yang baik atau diam!
EmoticonEmoticon